Sabtu, 06 Juni 2009

PUISI SURAT KEPADA KAWAN

SURAT




Dalam kotak mimpiku surat ilalang tanpa sayap darimu hinggap. Sejuta kata terpahat di dalamnya diantara ruas dan ruas. “Bawakan aku fajar sebelum matahari menggelinding mengoyak-moyak anyelir-anyelir yang menguncup di pelataran kalbu perempuan kabut memekat”, tulismu.

Maka segera kucari matahari di segala sudut kota, di pertokoan, di warung remang-remang, di stasiun, di kotak surat, di bawah bantal, di balik awan, di daun rumputan, di rinai hujan, di pekik kelelawar, di atas menara, di arca-arca dewata, di mata pena, di saku celana, di telaga warna. Aku mencari. Tak nampak jua batang hidungmya.

Aku malah menemukan bulan sabit terikat di dalam sajak-sajakku. Bibir tanpa gincunya mendesis binal seperti ular. Menelusuri saluran-saluran air mencari serumpun makan malam. Hendak ku bawa bulan ke pangkuan jemari-jemari kayumu yang menelungkup, lalu apakah jemarimu kan terlentang? Lalu kau semakin mengerang?

Tintaku seketika membeku menjadi abu lalu terbang bersana kepak lembut sayap-sayap malam. Mata penaku seketika pecah ujungnya membuat mozaik-mozaik air mataku air matamu di daun

bandung, April 1 2009


MENJEMPUT MIMPI




Mari kita menjemput mimpi
Tentang kupu-kupu
Yang terbang mengitari
Halaman hijau rumah kita

Mari kita menjemput mimpi
Tentang gerimis pagi
Yang turun riwis
Di wajah bunga-bunga

Mari kita menjemput mimpi
Tentang masa depan pasti
Bumi yang berseri
Memberi tentram pada jiwa

Sanggar Sastra Wedang Kendhi, Februari 2009


MEMBACA MALAM


Membaca malam tanpa bintang yang berenang di laut ilalang dini hari. Batu-batu yang beku terbunuh sunyi. Daun-daun menguning kering jatuh perlahan bergoyang tanpa angin yang menyalak. Tanah yang lemban mengatupkan kelopaknya

Membaca malam tanpa dednyut waktu yang mengerang. Perawan tua menyelam di sungai mimpi di atas tubuh keringnya. Adalah momentum sunyi bagi jiwanya yang telah letih oleh segala peluh dunia siang

Membaca malam dalam seribu sepi yang membakar degub langit. Penyair tua bergetar jiwa binalnya. Memungut memoria lalu yang tercecer di ujung-ujung jarum jam yang menggantung di dadanya. Merunut futura yang menempel di setiap lembar cakrawala yang menganga di kotak-kotak zenit. Seperti pendulum tukang sulap, berpusing tak pernah jera. Membongkar wajah dan mata maya

Membaca malam di wajah bumi. Malam tak akan mati

Sanggar Sastra Wedang Kendhi, September 2008


Tidak ada komentar: